Siapa yang tak asing dengan olahraga padel yang kini digandrungi kaum urban, atau secangkir matcha seharga puluhan ribu rupiah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup kekinian? Fenomena ini menunjukkan bagaimana kita kerap mengikuti suatu hal, bahkan saat hati tak sepenuhnya sejalan. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana: kita takut ketinggalan.
Kecemasan akan terpinggirkan dari lingkaran sosial, khawatir dicap tidak gaul, tidak update, atau tidak relevan, adalah inti dari fenomena ini. Inilah FOMO—Fear of Missing Out—sebuah kondisi psikologis yang semakin meresap di tengah masyarakat modern yang hiperterhubung, dipicu oleh derasnya arus informasi.
FOMO bukan sekadar perasaan iri saat melihat teman berlibur ke luar negeri atau nongkrong di tempat paling hits. Lebih dalam dari itu, ia merembes halus dalam kehidupan kita, menanamkan perasaan ‘kurang’ hanya karena kita tidak turut serta dalam tren tertentu. Perasaan ini kian menjadi ketika setiap hari mata kita disuguhkan berbagai postingan di media sosial: teman yang memamerkan sneakers edisi terbatas, selebgram yang baru mencoba kelas pilates eksklusif, atau influencer yang memamerkan kopi matcha mahal di kafe estetik.
Namun, di tengah hiruk-pikuk informasi yang tak pernah padam ini, patut kita renungkan: apakah semua itu benar-benar esensial? Apakah kita mengikuti tren karena benar-benar menyukainya, atau hanya karena dihantui rasa takut ketinggalan? Jika rasa lelah mulai menyelimuti akibat mengejar sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya Anda pahami, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak. Evaluasi kembali: apakah kita menjalani hidup berdasarkan pilihan pribadi, atau sekadar terbawa arus orang lain?
Media Sosial: Lahan Subur yang Menyuburkan FOMO
Tak dapat dimungkiri, media sosial adalah panggung utama bagi berkembangnya FOMO. Di sana, semua orang seolah tampak sempurna: bahagia, sukses, dan selalu menjadi yang terdepan dalam setiap tren. Bahkan, baru saja kita terbangun dan membuka Instagram atau TikTok, kita sudah disambut oleh kilasan kehidupan orang lain yang tampak jauh lebih memikat dari realitas yang kita jalani.
Beragam tren lahir dan menyebar begitu cepat di media sosial, mulai dari gaya berpakaian, kuliner, aktivitas olahraga, hingga hobi-hobi yang sedang digandrungi. Masalahnya, banyak yang luput menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang—bukan keseluruhan kisahnya. Di balik senyum ceria dan pose estetik itu, bisa jadi tersimpan beban utang, kelelahan mental, atau kekosongan makna yang mendalam.
Oleh karena itu, mengurangi konsumsi media sosial dapat menjadi langkah awal yang sangat efektif untuk meredam FOMO. Anda tidak harus menghapus semua aplikasi secara instan, namun mulailah dengan membatasi waktu penggunaannya. Coba luangkan satu jam sehari tanpa membuka Instagram, atau tentukan hari-hari khusus tanpa media sosial sama sekali. Praktik detoks digital ini akan membantu kita menyadari bahwa kehidupan nyata jauh lebih berharga daripada sekadar mengejar validasi digital.
Hubungan yang Tulus Bisa Menghapus Rasa Cemas
Salah satu pemicu terbesar FOMO adalah rasa kesepian. Ketika kita merasa sendiri, tanpa tempat bercerita, dan hanya berinteraksi dengan layar ponsel, perasaan bahwa hidup orang lain lebih seru akan semakin menghantui. Padahal, koneksi sosial yang nyata dan hubungan yang tulus adalah penawar paling ampuh untuk perasaan tersebut.
Cobalah untuk kembali menjalin hubungan yang tulus dengan orang-orang terdekat Anda. Bertemu teman lama, mengobrol santai dengan keluarga, atau sekadar menikmati waktu bersama sahabat tanpa agenda khusus bisa membawa kebahagiaan luar biasa. Tak perlu pergi ke tempat mewah; bahkan makan nasi goreng di warung pinggir jalan sambil tertawa bersama bisa jauh lebih membahagiakan daripada sekadar minum kopi di kafe mahal sambil sibuk update story.
Dan jangan ragu untuk bersikap terbuka. Ceritakan apa yang Anda rasakan, ungkapkan rasa jenuh atau lelah akibat tekanan tren sosial. Sangat mungkin, orang lain pun merasakan hal yang sama, namun tak berani mengutarakannya. Ketulusan dalam hubungan sosial akan mengembalikan kepercayaan diri bahwa kita tidak perlu menjadi seperti orang lain untuk merasa cukup dan bahagia.
Saatnya Fokus pada Apa yang Sudah Dimiliki
FOMO kerap membuat kita lupa akan hal-hal baik yang sebenarnya sudah kita miliki. Kita terlalu sibuk memandang ke luar, hingga abai terhadap kekayaan yang ada di dalam diri sendiri. Padahal, dengan sedikit waktu untuk refleksi diri, kita akan menyadari bahwa hidup kita pun dipenuhi oleh hal-hal yang patut disyukuri.
Cobalah untuk menulis jurnal rasa syukur setiap hari. Bisa sesederhana menulis tiga hal yang membuat Anda bahagia hari ini. Misalnya, pagi ini Anda bisa sarapan dengan tenang, siang ini tidak terjebak macet, atau malam ini sempat menonton film kesukaan. Terlihat sepele, namun latihan sederhana ini secara fundamental akan mengubah cara pandang Anda terhadap hidup.
Penelitian menunjukkan bahwa praktik rasa syukur dapat secara signifikan menurunkan gejala depresi dan kecemasan, meningkatkan kesehatan mental. Ketika Anda terbiasa melihat hal baik dalam hidup sendiri, Anda tidak akan mudah tergoda untuk terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Anda tak lagi merasa ‘kurang’ hanya karena tidak memiliki barang yang sama dengan teman-teman Anda.
Hidup Realistis: Tidak Semua Tren Harus Diikuti
Mengikuti tren memang terkadang bisa menyenangkan, namun tidak semua tren layak untuk diikuti, apalagi jika Anda harus mengorbankan kesehatan mental atau stabilitas keuangan demi itu. Salah satu langkah penting untuk menghindari FOMO adalah bersikap realistis. Kenali batas kemampuan Anda—baik secara finansial maupun emosional.
Sebelum terburu-buru mengikuti tren membeli barang yang sedang viral, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar mencerminkan diriku? Apakah aku benar-benar membutuhkannya, atau hanya ingin terlihat relevan?” Pertanyaan sederhana ini sangat krusial dalam menentukan keputusan jangka panjang Anda. Periksa kembali pemasukan dan pengeluaran Anda. Lihat apakah tren itu hanya akan menambah beban utang atau justru merusak prioritas hidup yang sudah Anda bangun.
Ingatlah bahwa tren datang dan pergi; apa yang viral hari ini bisa jadi dilupakan besok. Namun, keputusan yang kita ambil hari ini akan berdampak jangka panjang. Anda tidak harus mengikuti kelas yoga paling hits atau membeli sepatu edisi terbatas hanya karena teman-teman Anda melakukannya. Jika Anda tetap bisa bahagia tanpa semua itu, artinya Anda sudah memiliki kecukupan.
Menjadi Autentik di Tengah Tekanan Tren
Kita hidup di era di mana keaslian sering kali terpinggirkan oleh pencitraan. Namun, justru di masa seperti inilah, menjadi autentik adalah bentuk keberanian yang luar biasa. Menjadi diri sendiri di tengah arus tren yang seragam adalah sikap yang patut dihargai.
Anda tidak harus selalu tahu apa yang sedang viral. Anda tidak harus memaksakan diri untuk menjadi bagian dari setiap percakapan populer. Justru ketika Anda memahami siapa diri Anda dan apa yang Anda butuhkan, Anda akan mampu membuat keputusan yang lebih bijak dan membahagiakan diri sendiri.
Menghindari FOMO bukan berarti Anda tertinggal. Justru sebaliknya, itu adalah bentuk kedaulatan atas hidup Anda sendiri. Anda memilih dengan sadar, bukan karena tekanan atau tuntutan dari luar. Anda berhak menikmati hidup dengan cara yang paling sesuai untuk Anda—tanpa harus selalu membandingkan diri, mengejar, atau membuktikan apa pun.
Penutup: Hiduplah Seperti yang Kamu Inginkan
Di dunia yang terus bergerak cepat dengan tren dan pembaruan setiap detik, kita perlu berani berkata: cukup. Cukup untuk mengikuti sesuatu hanya karena rasa takut tertinggal. Cukup untuk mengukur nilai diri dari apa yang orang lain tampilkan di media sosial. Cukup untuk mengorbankan kebahagiaan pribadi demi terlihat ‘up to date’.
FOMO mungkin takkan pernah sepenuhnya menghilang, namun kita bisa belajar untuk tidak dikuasai olehnya. Kita memiliki kekuatan untuk memilih apa yang ingin kita ikuti, dan dengan bijak melewatkan apa yang tidak penting. Hidup bukanlah kompetisi konten, melainkan sebuah perjalanan untuk membangun makna secara perlahan—bersama orang-orang yang kita sayangi, di tempat yang kita cintai, dan dengan cara yang membuat kita merasa utuh dan damai.