Putusan MK Diprotes NasDem: Ketatanegaraan RI Porak-poranda?

Putusan MK Diprotes NasDem: Ketatanegaraan RI Porak-poranda?

Blog & Tips – , Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah menuai kritik tajam dari Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Saan Mustopa. Ia dengan tegas menyatakan bahwa keputusan tersebut, yang diumumkan pada Kamis, 26 Juni 2025, bersifat inkonstitusional dan berpotensi mengacaukan tatanan ketatanegaraan Indonesia. Saan berpendapat bahwa putusan ini secara langsung bertentangan dengan semangat Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur penyelenggaraan pemilu.

Dalam konstitusi, khususnya Pasal 22E, secara jelas disebutkan bahwa pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh karena itu, bagi Saan, langkah Mahkamah Konstitusi untuk memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi yang berlaku.

“Putusan itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” ujar Saan Mustopa saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Ia menambahkan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini bahkan menuntut adanya amandemen UUD 1945 jika ingin diakomodasi, sebuah konsekuensi yang sangat besar bagi sistem kenegaraan. Saan, yang dalam konteks artikel ini disebut sebagai Wakil Ketua DPR, mendesak MK untuk mempertahankan konsistensinya.

Desakan Saan tertuju pada putusan MK sebelumnya, yakni Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang telah memberikan wewenang kepada DPR untuk menentukan model keserentakan pemilu. Ia menekankan pentingnya MK berpegang pada putusan terdahulu yang bersifat final dan mengikat. “Mereka kan sudah memutuskan tahun 2019 yang mengatur keserentakan pemilu, di mana presiden, wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, kabupaten dan kota dengan lima kotak. Itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” tegasnya, merujuk pada konsep yang dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak”.

Adapun putusan MK terbaru pada 26 Juni 2025 menetapkan bahwa pemilu nasional harus terpisah dari penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota, yang disebut sebagai pemilu lokal. MK memutuskan bahwa pemilu lokal akan diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Sebagai klarifikasi, pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, pemilu lokal mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan kepala serta wakil kepala daerah.

Dengan berlakunya putusan ini, konsep pemilu serentak “Pemilu 5 kotak” yang sudah familier dipastikan tidak akan lagi berlaku untuk Pemilu 2029 dan seterusnya. Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil untuk mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas, sekaligus mempertimbangkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam menggunakan hak suaranya sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Dalam pertimbangan mendalam, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional. Selain itu, dalam rentang waktu yang sempit akibat keserentakan tersebut, masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah hiruk pikuk isu-isu nasional, sehingga perhatian terhadap isu lokal menjadi terabaikan.