PDIP vs Fadli Zon: Sejarah Ditulis Ulang, Perang Narasi Dimulai!

PDIP vs Fadli Zon: Sejarah Ditulis Ulang, Perang Narasi Dimulai!

Gelombang kecaman keras menyusul pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang secara tegas menyebut tidak terdapat bukti konkret terkait kasus rudapaksa massal dalam peristiwa Mei 1998. Pernyataan ini menuai protes keras dari berbagai pihak, khususnya Koalisi Masyarakat Sipil dan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), yang merasa prihatin atas narasi tersebut.

Menanggapi polemik ini, Ketua DPP PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, atau yang akrab disapa Bambang Pacul, turut menyoroti proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud). Ia berpandangan bahwa setiap penulisan ulang sejarah tak akan lepas dari unsur subjektivitas. “Ini soal penulisan sejarah, soal penulisan sejarah, ini kan subjektivitas pasti ikut campur, 100% ikut campur subjektivitas, kan begitu. Jadi siapapun yang akan menulis pasti akan ada kontranya,” ujar Bambang Pacul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin.

Menanggapi inisiatif Kemenbud, Bambang Pacul menegaskan bahwa PDI Perjuangan juga akan menyusun versi sejarahnya sendiri. “Terhadap penulisan sejarah ini gimana Pak Pacul? yang diinisiasi oleh Pak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ini gimana sikap PDI Perjuangan? PDI perjuangan juga akan menulis sejarah,” terang Bambang Pacul, mengindikasikan adanya upaya untuk menghadirkan perspektif yang berbeda terhadap narasi sejarah.

Di tengah dinamika perdebatan ini, Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO), Hasan Nasbi, mengimbau masyarakat untuk tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan hasil proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut. Nasbi menekankan pentingnya memberikan waktu bagi para ahli sejarah untuk merampungkan tugas mereka, sembari mengajak masyarakat untuk turut serta mengawal proses ini secara langsung agar transparansi dan akurasi tetap terjaga.

Namun, sorotan paling tajam dan penyesalan mendalam datang dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas. Koalisi ini mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dinilai nirempati terhadap para korban dan seluruh perempuan yang berjuang untuk keadilan terkait kekerasan pada Mei 1998. “Pernyataan Fadli Zon menunjukkan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. Ia telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa,” demikian sebagian isi keterangan resmi Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, di antaranya dari Direktur Eksekutif Amnesty International.

Menanggapi gelombang kritik, Fadli Zon memberikan penjelasan kembali mengenai pernyataannya terkait dugaan pemerkosaan massal dalam peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998. Menurutnya, peristiwa tersebut memang memicu silang pendapat terkait ada atau tidaknya pemerkosaan massal. Bahkan, ia menyoroti bahwa liputan investigatif dari sebuah majalah terkemuka pun tidak berhasil mengungkap fakta-fakta kuat terkait dugaan ini. Fadli Zon juga mengutip Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang, menurutnya, hanya menyajikan angka tanpa data pendukung solid seperti nama korban, waktu, lokasi kejadian, atau pelaku. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kehati-hatian dan ketelitian dalam menyikapi isu ini, mengingat pentingnya menjaga kebenaran dan nama baik bangsa. “Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri,” kata Fadli Zon dalam akun media sosial X.