Acropolis, sebuah kompleks benteng kuno yang menjulang di atas kota Athena, Yunani, telah lama menjadi rumah bagi berbagai bangunan penting, mulai dari kuil suci hingga istana megah. Pada masa lampau, bukit strategis ini merupakan jantung keagamaan peradaban Yunani kuno, tempat pemujaan politeisme berkembang pesat. Di antara struktur-struktur ikonik seperti Propylaea, Kuil Athena Nike, dan Erechtheion, Parthenon menjadi yang paling terkenal, bahkan diakui sebagai simbol universal budaya dan demokrasi Barat.
Kisah Parthenon jauh melampaui fungsinya sebagai kuil persembahan. Bangunan agung ini telah menyaksikan pergantian era dan kepercayaan, bertransformasi dari kuil pagan menjadi gereja Kristen, dan kemudian masjid Islam. Mari kita telusuri perjalanan menakjubkan Parthenon ini, termasuk peristiwa ledakan dahsyat yang pernah merusaknya.
Awalnya, Parthenon adalah sebuah kuil megah yang berdiri gagah di puncak bukit Acropolis Athena, didedikasikan untuk Dewi Athena Parthenos, dewi kebijaksanaan, perang, dan kerajinan tangan dalam mitologi Yunani. Pembangunan kuil ikonik ini dimulai pada tahun 447 SM di bawah pengawasan arsitek ulung Ictinus dan Callicrates, serta pematung legendaris Phidias, dan berhasil diselesaikan pada tahun 438 SM. Keberadaannya kala itu menjadi representasi kemakmuran dan kekuasaan Athena.
Di dalam Parthenon, terdapat sebuah patung monumental Dewi Athena yang dibuat oleh Pheidias dari kombinasi emas dan gading. Patung ini bukan sekadar karya seni, melainkan inti dari kepercayaan bangsa Yunani kuno, yang meyakini bahwa dewi tersebut bersemayam di dalamnya, menjadikan kuil ini sebagai rumah suci bagi Athena. Parthenon seluruhnya dibangun dari marmer putih yang memukau, dengan dimensi panjang 69 meter, lebar 30 meter, dan tinggi tiang mencapai 10 meter. Detail arsitektur uniknya terlihat pada tiang-tiangnya yang sedikit menggembung di bagian tengah, serta lantai yang sedikit melengkung ke atas, menunjukkan keahlian teknik yang luar biasa pada masanya.
Seiring berjalannya waktu dan pergeseran kekuasaan, nasib Parthenon pun berubah. Sebelum bertransformasi menjadi gereja Romawi, diperkirakan sebuah kebakaran hebat telah melanda dan menyebabkan kerusakan signifikan pada struktur Parthenon. Meskipun tanggal pasti konversinya menjadi gereja Romawi Byzantium tidak tercatat secara definitif, diperkirakan perubahan ini terjadi antara abad ke-5 hingga ke-6 Masehi. Pada periode tersebut, Yunani telah berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Byzantium, dan Kekristenan telah diresmikan sebagai agama negara, mendorong transformasi banyak kuil pagan menjadi tempat ibadah Kristen.
Sebagai bagian dari transformasi ini, patung monumental Dewi Athena di dalam Parthenon diduga kuat dipindahkan atau dihancurkan, meskipun tidak ada catatan pasti yang mendokumentasikan nasibnya. Interior kuil diadaptasi agar sesuai dengan kebutuhan liturgi Kristen; mosaik yang menggambarkan Bunda Maria dan para santo ditambahkan, sementara area cella, ruang utama kuil, diubah menjadi nave, ruang utama dalam sebuah gereja.
Perjalanan Parthenon berlanjut ketika Kekaisaran Ottoman menguasai Athena dan Acropolis pada tahun 1458 di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II. Sultan yang mengagumi warisan kota klasik Athena ini bahkan mengeluarkan dekrit kekaisaran untuk melindungi peninggalan kuno, termasuk Parthenon. Meskipun tanggal pasti konversi dari gereja menjadi masjid tidak tercatat, perubahan ini terjadi seiring dengan dominasi Islam di wilayah tersebut.
Dalam adaptasinya sebagai tempat ibadah Muslim, menara lonceng yang ada diubah menjadi menara masjid untuk mengumandangkan azan, dan interior Parthenon dihiasi dengan ornamen-ornamen Islam. Namun, masjid pertama di situs ini tidak bertahan lama, karena dibom oleh pasukan Venesia. Kemudian, pada abad ke-18, sebuah masjid kedua dibangun di bagian tengah kuil, tepatnya di ruang utama Parthenon. Setelah Yunani meraih kemerdekaannya dari kekuasaan Ottoman, Parthenon pun tidak lagi berfungsi sebagai masjid.
Salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah Parthenon terjadi selama Perang Venesia melawan Ottoman. Konflik ini adalah bagian dari upaya Kekaisaran Ottoman untuk memperluas dominasinya di Eropa, yang pada saat itu telah menguasai Yunani termasuk Athena dan Parthenon, sementara Venesia berupaya keras menghalangi ekspansi tersebut. Dalam situasi genting itu, pasukan Ottoman menggunakan Parthenon sebagai gudang bubuk mesiu, sebuah keputusan yang berakibat fatal.
Puncak tragedi terjadi pada tahun 1687 selama Perang Morea. Pasukan Venesia di bawah pimpinan Francesco Morosini melancarkan pengepungan terhadap kota Athena. Tembakan meriam dari pasukan Venesia yang diarahkan ke bukit Akropolis dari kejauhan, secara telak mengenai gudang mesiu di dalam Parthenon. Ledakan dahsyat itu menghancurkan seluruh bagian tengah Parthenon; atapnya luluh lantak, banyak kolom runtuh, dan patung serta relief-relief berharga seperti Frieze dan Metope ikut hancur, sebagaimana dilaporkan oleh History Today.
Pada akhirnya, Parthenon tidak lagi berfungsi sebagai kuil, gereja, maupun masjid. Kini, bangunan ikonik ini berdiri sebagai sisa reruntuhan yang sarat sejarah, menjadi saksi bisu perjalanan peradaban. Banyak dari reliefnya, seperti metope dan frieze, serta bagian-bagian seni lainnya dari Parthenon, kini dipamerkan di British Museum, London, menjadi objek studi dan kekaguman bagi para sejarawan dan pengunjung.
Perjalanan panjang Parthenon, dari rumah suci Dewi Athena, kemudian bertransformasi menjadi gereja, lalu masjid, dan kini menjadi reruntuhan bersejarah, menjadikannya salah satu situs arkeologi paling penting di dunia. Keberadaannya yang megah dan penuh cerita terus menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya untuk mengunjungi Athena, menyaksikan langsung keagungan masa lalu yang masih tersisa.