Blog & Tips – , Jakarta – Wacana penertiban kendaraan Over Dimension and Over Load (ODOL) oleh pemerintah mendapat respons beragam dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo). Meskipun Aptrindo pada prinsipnya menyetujui langkah ini, dengan alasan potensi penghematan biaya perawatan dan perpanjangan usia kendaraan bagi anggotanya, ada catatan krusial yang mereka ajukan. Wakil Sekretaris Jenderal Aptrindo, Agus Pratiknyo, menegaskan bahwa keuntungan tersebut hanya akan terasa jika penertiban ODOL ditegakkan secara adil dan berdasarkan regulasi yang transparan. “Tidak ada kerugian bagi pengusaha jika penertiban ODOL benar-benar ditegakkan dan semua berjalan sesuai aturan. Yang jadi masalah saat ini, tidak ada keadilan dan regulasi yang jelas,” ungkap Agus kepada Tempo pada Jumat, 27 Juni 2025.
Kendati demikian, Aptrindo menyoroti dampak ekonomi yang signifikan dari kebijakan zero ODOL. Berdasarkan kajian mereka, implementasi penuh zero ODOL berpotensi melambungkan biaya transportasi hingga 100 persen sampai 250 persen, bergantung pada jenis armada yang digunakan. Kenaikan biaya ini, pada gilirannya, dikhawatirkan akan memicu lonjakan harga barang di pasaran. Aptrindo menilai, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cenderung memfokuskan isu ODOL hanya pada narasi keselamatan, mengaitkannya dengan insiden kecelakaan dan korban jiwa, sehingga beban masalah seolah-olah sepenuhnya ditujukan kepada pelaku usaha angkutan barang. Agus Pratiknyo menekankan, “Fokus semata pada aspek keselamatan tanpa memperhitungkan dampak ekonomi bagi pelaku usaha logistik hanya akan memperbesar ketimpangan dan keresahan di lapangan.” Ironisnya, di tengah perdebatan krusial ini, Aptrindo mengklaim bahwa mereka tidak pernah dilibatkan oleh Kementerian Perhubungan dalam diskusi terkait pelaksanaan kebijakan zero ODOL.
Padahal, Aptrindo telah proaktif mengajukan sejumlah usulan kebijakan dan solusi komprehensif terkait penertiban ODOL kepada Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. Usulan-usulan ini mencakup: pertama, program KIR Amnesti guna mengakomodasi legalisasi surat-surat kendaraan; kedua, pembentukan Satuan Tugas atau Desk Khusus yang berdedikasi untuk penanganan kendaraan ODOL; ketiga, digitalisasi sistem pengawasan demi efektivitas dan transparansi; serta keempat, pemberian insentif ekonomi yang meliputi pengurangan pajak Kendaraan Bermotor (KB) dan opsen, diskon tarif tol, hingga skema peremajaan kendaraan. Selain itu, Aptrindo juga mengusulkan reformasi regulasi secara menyeluruh untuk menciptakan ekosistem logistik yang lebih adil dan efisien.
Lebih lanjut, Agus Pratiknyo juga mengingatkan pemerintah tentang sejumlah persiapan fundamental yang harus dipenuhi sebelum sepenuhnya mengimplementasikan zero ODOL. Ia menyoroti konsekuensi logis dari kebijakan ini, yaitu kebutuhan akan penambahan signifikan jumlah kendaraan untuk mengangkut barang. “Apakah pemerintah siap dengan penyediaan BBM bersubsidi, peningkatan volume kendaraan, dan dampak sosial yang diakibatkan peningkatan jumlah kendaraan yang mengaspal di jalan?” tanyanya, menyoroti kompleksitas masalah di luar aspek teknis semata.
Di sisi lain, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menegaskan bahwa penanganan ODOL merupakan prioritas yang tidak bisa ditunda. Ia beralasan, kendaraan bermuatan berlebih secara konsisten menjadi pemicu utama kecelakaan lalu lintas yang merenggut korban jiwa. Data Korlantas Polri tahun 2024 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: sebanyak 27.337 insiden kecelakaan lalu lintas melibatkan angkutan barang. Catatan Jasa Raharja pun memperkuat fakta ini, menempatkan angkutan barang sebagai penyebab kecelakaan di peringkat kedua. Selain ancaman keselamatan, kendaraan ODOL juga berkontribusi pada kemacetan parah, kerusakan infrastruktur jalan yang masif, serta peningkatan polusi udara di wilayah yang terdampak, merugikan masyarakat luas.
Meskipun demikian, Dudy Purwagandhi memastikan bahwa penertiban ODOL yang akan segera berlaku tidak akan melibatkan pembentukan aturan baru. Kementerian Perhubungan tetap berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sekaligus mengingatkan kembali komitmen zero ODOL yang telah disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan sejak tahun 2017. “Mulai saat ini kami hanya akan menjalankan regulasi yang sudah ada secara lebih tegas,” tegasnya pada Kamis, 26 Juni 2025, dalam keterangan tertulis. Hal ini mencerminkan keinginan untuk penegakan hukum yang lebih kuat terhadap praktik ODOL, sebuah isu yang, seperti disoroti dalam “Pilihan Editor” sebelumnya, meminta Menteri Perhubungan untuk tidak hanya menyudutkan pengusaha truk terkait permasalahan ini, melainkan mempertimbangkan solusi yang lebih menyeluruh dan adil bagi seluruh pihak dalam rantai logistik.