Jakarta – Konflik di Timur Tengah antara Israel dan Iran kembali memanas, ditandai dengan saling serang sejak 13 Juni 2025. Ketegangan ini memuncak setelah Israel melancarkan serangkaian serangan rudal ke berbagai fasilitas nuklir dan militer Iran, menargetkan apa yang mereka anggap sebagai ancaman eksistensial.
Serangan udara besar-besaran oleh Israel, seperti dilaporkan CNN pada Ahad, 15 Juni 2025, bertujuan untuk melumpuhkan program nuklir Iran yang telah lama menjadi kontroversi. Israel mengklaim, pada Sabtu 21 Juni 2025, bahwa serangan mereka berhasil menghambat program nuklir Iran setidaknya selama dua tahun, demikian dilansir Al Arabiya.
Angkatan Udara Israel melanjutkan gelombang serangannya pada Sabtu, menargetkan fasilitas penyimpanan dan peluncuran rudal di Iran tengah. Klaim Israel, serangan ini dirancang untuk mencegah rivalnya mengembangkan senjata nuklir—suatu ambisi yang terus dibantah oleh Teheran. Dilansir dari The Economic Times, Pasukan Pertahanan Israel bahkan mengklaim telah mengungkap rencana rahasia yang menunjukkan percepatan program pengembangan senjata nuklir oleh Iran, yang menurut militer Israel dapat mengancam keamanan mereka.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah berulang kali melontarkan tuduhan serupa selama bertahun-tahun. Ia bahkan pernah mempresentasikan ancaman program nuklir Iran dalam bentuk ilustrasi bom kartun saat berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2012. Namun, hingga kini, Israel belum memberikan bukti resmi yang secara definitif mengonfirmasi keberadaan senjata nuklir di tangan Iran.
Di sisi lain, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan bahwa negaranya tidak berniat mengembangkan senjata nuklir. Sebagai bentuk penolakan terhadap senjata pemusnah massal, Presiden Pezeshkian juga kembali menekankan fatwa Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei yang sejak lama melarang pengembangan senjata nuklir oleh Iran.
Lantas, seberapa besar potensi Iran dalam mengembangkan senjata nuklir?
Komandan Komando Pusat Militer Amerika Serikat (AS), Erik Kurilla, dalam kesaksiannya di hadapan komite Senat AS pada 10 Juni 2025, menyatakan bahwa Teheran “terus bergerak menuju program senjata nuklir,” demikian dilansir dari Al Jazeera. Namun, Kurilla tidak menyatakan bahwa militer AS meyakini Iran saat ini memiliki program aktif untuk mengembangkan bom nuklir, melainkan bahwa Iran sedang berada dalam jalur menuju tahap tersebut. Pernyataan Kurilla menyoroti tingginya tingkat pengayaan uranium yang dilakukan Iran, mempertanyakan mengapa Iran memiliki akumulasi uranium yang diperkaya dalam jumlah besar. “Persediaan uranium yang diperkaya terus terakumulasi di fasilitas di seluruh negeri dengan kedok program nuklir sipil,” ujar Kurilla.
Menurut laporan triwulan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang dilansir dari The Economic Times, stok uranium Iran diperkirakan mencapai sekitar 9,2 ton per Mei 2025. Jumlah ini jauh melampaui batas 202,8 kilogram yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir 2015. Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, juga menyatakan bahwa Iran telah mengumpulkan 400 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen. Dilansir dari Al Jazeera, pengayaan uranium adalah proses peningkatan konsentrasi isotop uranium-235. Untuk keperluan senjata nuklir, kadar ini harus dinaikkan hingga sekitar 90 persen, yang kemudian dikategorikan sebagai “kelas senjata.”
Erik Kurilla mengklaim bahwa jika Iran memutuskan untuk mengejar senjata nuklir, mereka memiliki cukup persediaan dan sentrifugal untuk memproduksi 25 kilogram uranium tingkat senjata hanya dalam waktu sekitar satu minggu, dan cukup bahan untuk merakit hingga 10 senjata nuklir dalam tiga minggu. Namun, Grossi memiliki pandangan yang berbeda. Dalam wawancara dengan CNN, ia menyebut bahwa skenario semacam itu “bukan untuk besok” dan kemungkinan besar “bukan persoalan tahun.” Baik Kurilla maupun Grossi tidak merinci berapa lama waktu yang sebenarnya dibutuhkan Iran untuk merakit senjata nuklir, bahkan jika mereka telah memiliki bahan baku yang cukup.
Nurdin Saleh, Myesha Fatina Rachman, Olivia Subandi dan Sita Planasari berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: Pakistan Akan Nominasikan Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian