Margono Djojohadikusumo: Kisah Inspiratif Dirut Pertama BNI & Bapak Ekonomi RI

Margono Djojohadikusumo: Kisah Inspiratif Dirut Pertama BNI & Bapak Ekonomi RI

Blog & Tips – , Jakarta – Visi ambisius pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang diusung Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono ternyata menemukan akarnya pada pemikiran cemerlang Margono Djojohadikusumo. Sosok yang juga dikenal sebagai ekonom terkemuka dan Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pertama ini memang merupakan perintis di berbagai bidang pembangunan. Ferry Juliantono menegaskan bahwa Bapak Margono Djojohadikusumo adalah seorang visioner yang merumuskan rencana pembangunan semesta berencana, mengedepankan pembangunan desa dan koperasi, serta terlibat aktif dalam industri dari hulu hingga hilir, seperti dikutip dari keterangannya di Jakarta pada Jumat, 20 Juni 2025, dilansir dari Antara.

Pernyataan tersebut tentu memicu rasa ingin tahu: seperti apa sebenarnya sosok Margono Djojohadikusumo yang begitu relevan dengan semangat koperasi dan pembangunan nasional hingga kini? Artikel ini akan mengulas profil lengkap dari tokoh penting tersebut.

Profil Margono Djojohadikusumo

Mengutip esi.kemdikbud.go.id, Raden Mas Margono Djojohadikusumo lahir sebagai putra seorang Asisten Wedana di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Silsilah keluarganya menunjukkan bahwa beliau adalah cicit dari Raden Tumenggung Banyak Lebar, atau yang lebih dikenal sebagai Panglima Banyakwide, seorang abdi setia Pangeran Diponegoro. Kelahiran Margono di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1894, menempatkannya dalam kategori bumiputera yang beruntung pada masa itu, berkesempatan menempuh pendidikan di lembaga-lembaga formal.

Jejak pendidikannya dimulai pada tahun 1900 di Europeesche Lagere School (ELS), yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1907. Kecerdasannya membawanya mengikuti ujian masuk klein ambtenaar untuk Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, Jawa Tengah, sebuah sekolah pegawai negeri sipil yang ditempuhnya selama empat tahun hingga tamat pada tahun 1911.

Setelah merampungkan studinya di OSVIA, perjalanan karier Margono Djojohadikusumo dimulai sebagai juru tulis di Banyumas. Tak lama berselang, ia diangkat sebagai juru tulis Asisten Wedana Banyumas di Pejawaran. Pada tahun 1912, ia kembali dipercaya menjabat juru tulis di Kantor Kejaksaan Cilacap, Jawa Tengah. Hanya beberapa bulan di Cilacap, potensi dirinya sudah terlihat, sehingga ia kemudian mengikuti pelatihan sebagai pejabat pegawai dinas atau Volkscredietwezen, sebuah langkah awal yang krusial dalam karier perbankannya.

Pada tahun 1915, Margono mengikat janji suci dengan Siti Katoemi Wirodihardjo dan dianugerahi lima orang anak. Mereka adalah Soemitro Djojohadikoesoemo, Soekartini Djojohadikusumo, Miniati Djojohadikoesoemo, Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Soejono Djojohadikoesoemo. Sayangnya, dua putranya, Soebianto dan Soejono, gugur sebagai pahlawan dalam Pertempuran Lengkong.

Setelah bertugas di Kantor Kejaksaan Cilacap dan mengikuti berbagai pelatihan, Margono Djojohadikusumo menunjukkan peningkatan performa yang signifikan. Ia naik jabatan menjadi pegawai dinas di Madiun, Jawa Timur, sebelum kemudian dipindahkan ke Malang pada tahun 1930. Tak lama setelah itu, ia berkesempatan bertugas di kantor pusat Algemene Volkscredietbank di Jakarta, sebuah lembaga keuangan yang kelak menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia.

Dedikasi dan keahliannya di bidang keuangan menarik perhatian hingga ia dikirim ke Belanda oleh Kementerian Urusan Jajahan pada tahun 1937. Di sana, ia memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari laporan-laporan dari pemerintahan Hindia Belanda. Namun, keterbatasan tenaga kerja di Tanah Air membuatnya diminta kembali oleh Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda.

Setibanya di Indonesia, Margono kembali mengabdikan diri di Departemen Urusan Ekonomi hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia bergema pada 17 Agustus 1945, kepercayaan negara kepadanya semakin besar. Ia diamanahkan untuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), sebuah lembaga strategis yang bertugas memberikan nasihat kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam masa-masa genting pembangunan bangsa.

Mendirikan BNI

Melansir dinarpus.banyumaskab.go.id, sebagai Ketua DPAS, Margono Djojohadikusumo menunjukkan visi kenegarawanan yang luar biasa. Ia mengusulkan gagasan penting untuk membentuk sebuah bank sentral atau bank sirkulasi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Gayung bersambut, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan mandat penuh kepadanya pada 16 September 1945, untuk segera mengerjakan persiapan pembentukan Bank Sentral (Bank Sirkulasi) Negara Indonesia.

Tidak butuh waktu lama, pada 19 September 1945, sidang Dewan Menteri mengambil keputusan bersejarah untuk membentuk sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Puncaknya, pada 15 Juli 1946, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 1946 tentang Pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) resmi diterbitkan. Sejalan dengan tonggak sejarah tersebut, Margono Djojohadikusumo ditunjuk sebagai Direktur Utama BNI yang pertama, mengemban tanggung jawab besar dalam meletakkan fondasi perbankan nasional. Kiprah BNI terus berkembang, dan pada tahun 1970, status hukum bank tersebut ditingkatkan menjadi persero, menandai era baru dalam sejarah keuangan Indonesia.

Pilihan Editor: Untung-Rugi Ekspor Listrik ke Singapura