TEHERAN, KOMPAS.com – Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas menyusul eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang berpusat pada program nuklir Iran. Sepekan setelah Israel melancarkan serangan signifikan ke wilayah Iran, Amerika Serikat (AS) turut menambah dinamika dengan melancarkan serangan terhadap tiga lokasi yang diduga terkait fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025) malam waktu setempat.
Kekhawatiran negara-negara Barat terhadap ambisi nuklir Iran terus meningkat, terutama terkait percepatan pengayaan uranium. Israel bahkan secara terbuka menuding Iran hampir mencapai tahap akhir dalam pengembangan senjata nuklir, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Teheran.
Untuk memahami kompleksitas situasi terkini, penting untuk menelusuri kembali perjalanan panjang sejarah program nuklir Iran, sebagaimana dirangkum dari laporan kantor berita AFP.
Awal Mula Program Nuklir Iran
Program nuklir Iran pertama kali bergulir pada akhir 1950-an, di bawah pemerintahan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi. Kala itu, Iran menjalin kerja sama teknis dengan Amerika Serikat untuk mengembangkan nuklir sipil. Iran kemudian meratifikasi Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada tahun 1970, sebuah kesepakatan internasional yang mewajibkan pelaporan seluruh bahan nuklir kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Namun, sinyal kekhawatiran mulai mencuat pada awal tahun 2000-an, ketika terungkap adanya fasilitas nuklir Iran yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Puncak kekhawatiran ini terlihat dalam laporan IAEA tahun 2011, yang menyebutkan bahwa berdasarkan informasi intelijen kredibel, Iran diduga melakukan aktivitas terkait pengembangan alat peledak nuklir setidaknya hingga tahun 2003.
Goyahnya Kesepakatan Nuklir JCPOA
Setelah sempat menangguhkan aktivitas pengayaan uranium, Iran memulai serangkaian perundingan dengan negara-negara Eropa, yang kemudian diperluas hingga mencakup lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—yakni Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, dan Perancis—ditambah Jerman. Perundingan maraton selama 21 bulan ini akhirnya membuahkan hasil signifikan pada 14 Juli 2015 di Wina, Austria, dengan ditandatanganinya Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Kesepakatan ini secara fundamental membatasi program nuklir Iran secara signifikan, dengan imbalan pencabutan sanksi internasional. Namun, nasib JCPOA berada di ujung tanduk setelah Presiden AS saat itu, Donald Trump, secara sepihak menarik diri dari perjanjian pada 8 Mei 2018, dan kembali memberlakukan sanksi berat terhadap Iran.
Eskalasi Pengayaan Uranium Iran
Sebagai respons atas langkah AS, Iran secara progresif meningkatkan aktivitas nuklirnya. Clement Therme, seorang peneliti dari Institut Internasional Rasanah untuk Studi Iran, menggambarkan situasi ini seperti “jubah merah dikibarkan di depan seekor banteng.” Menurut Therme, Iran menerapkan “strategi eskalasi” untuk menekan Barat dan meringankan dampak sanksi, meskipun strategi ini pada akhirnya justru menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi Teheran.
Iran mulai memperkaya uranium hingga 5 persen, melampaui batas 3,67 persen yang ditetapkan dalam JCPOA. Tingkat pengayaan ini kemudian melonjak menjadi 20 persen, dan pada tahun 2021 bahkan mencapai 60 persen—hanya selangkah lagi menuju tingkat 90 persen yang dibutuhkan untuk produksi senjata nuklir. Tidak hanya itu, persediaan uranium Iran juga terus bertambah; saat ini, volume persediaan Iran diyakini mencapai lebih dari 45 kali lipat dari batas maksimal 202,8 kilogram yang diizinkan JCPOA.
Di samping itu, Iran juga telah memperluas jumlah sentrifugal dan mengaplikasikan teknologi yang lebih canggih untuk mempercepat produksi bahan nuklir. Upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan JCPOA melalui perundingan yang dimediasi Eropa telah mandek sejak musim panas 2022. Meskipun pembicaraan sempat dilanjutkan di Oman pada April 2025, menyusul pencalonan kembali Donald Trump sebagai presiden, prospeknya tetap suram.
Presiden AS sendiri menyatakan optimisme terhadap keberhasilan diplomasi, namun Iran menilai serangan Israel ke beberapa situs militer dan nuklir sebagai “pukulan” telak bagi proses perundingan. Kementerian Luar Negeri Iran juga mengecam keras pemboman oleh AS, menegaskan bahwa Washington “tidak segan melanggar hukum demi mendukung Israel.”
Belum Ada Bukti Program Senjata Nuklir Sistematis
Dalam laporan triwulanan terbarunya pada akhir Mei, IAEA menyampaikan kekhawatiran serius terhadap aktivitas nuklir Iran. Badan PBB tersebut secara spesifik menyoroti bahwa Iran menjadi satu-satunya negara non-nuklir yang memperkaya uranium hingga tingkat 60 persen. Secara teoretis, bahan uranium Iran yang telah diperkaya hampir mencapai tingkat senjata dapat digunakan untuk membuat sembilan bom nuklir, jika prosesnya dilanjutkan.
Namun demikian, IAEA secara eksplisit menegaskan bahwa belum ada bukti adanya “program sistematis” untuk memproduksi senjata nuklir di Iran. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, dalam sidang Senat pada Maret lalu, yang menyatakan bahwa Iran tidak secara aktif membangun senjata nuklir. Iran sendiri secara konsisten membantah ambisi tersebut dan merujuk pada fatwa dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei yang melarang penggunaan senjata atom dalam ajaran Islam.