Ganja Tak Lagi Primadona, Pariwisata Phuket Berubah?

Ganja Tak Lagi Primadona, Pariwisata Phuket Berubah?

Jakarta – Legalisasi ganja di Thailand sempat digadang-gadang sebagai magnet baru untuk menarik wisatawan. Namun, euforia tersebut tampaknya tidak bertahan lama, terutama di Phuket, destinasi paling populer di Negeri Gajah Putih itu. Penggunaan ganja yang semakin bebas di ruang publik kini justru menjadi sumber keluhan utama bagi banyak turis, mengubah daya tarik awal menjadi bumerang bagi sektor pariwisata.

Menyikapi gelombang keluhan tersebut, sejumlah perusahaan wisata di Phuket mulai mengusulkan penerapan zonasi ketat untuk penggunaan ganja rekreasi. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan gangguan yang dirasakan wisatawan. Seperti dilansir oleh Bangkok Post pada Jumat, 20 Juni 2025, meluasnya penggunaan ganja di pulau destinasi populer ini—dengan lebih dari 1.500 toko ganja berlisensi resmi—telah secara nyata berdampak negatif terhadap citra dan daya tarik pariwisata Thailand secara keseluruhan.

Merujuk pada laporan-laporan yang masuk, pejabat setempat telah mengadakan pertemuan dengan perwakilan sektor swasta pada Kamis, 19 Juni 2025, untuk membahas masalah ini. Senator Parinya Wongcherdkwan, salah satu yang menerima langsung keluhan dari masyarakat, menyoroti meningkatnya penggunaan ganja untuk rekreasi di area-area wisata utama seperti Patong, yang semakin meresahkan publik dan pelaku industri.

Kekhawatiran Wisatawan Keluarga

Kekhawatiran mendalam juga datang dari segmen wisatawan keluarga. Penduduk Phuket melaporkan bahwa banyak keluarga dengan anak-anak kini cenderung menghindari area tertentu di pulau itu. Penyebab utamanya adalah maraknya asap ganja di mana-mana dan penjualan produk makanan yang dicampur ganja, seperti kue, brownies, dan jeli. Produk-produk ini menimbulkan risiko serius, terutama bagi anak-anak yang bisa saja mengonsumsinya secara tidak sengaja dan membahayakan kesehatan mereka.

Menanggapi kekhawatiran ini, pihak kepolisian dari kantor polisi Patong telah berulang kali melakukan penggerebekan bersama pejabat kesehatan masyarakat. Hasilnya, banyak operator toko yang kedapatan menjual produk ganja tanpa izin yang sah berhasil diidentifikasi dan ditangkap. Ironisnya, Satjapon Thongsom, Wakil Ketua Kamar Dagang Phuket, mengungkapkan bahwa bahkan toko-toko yang memiliki izin resmi pun tidak luput dari keluhan. Mereka seringkali menghadapi keberatan dari restoran-restoran atau bisnis lain yang berlokasi berdekatan, terkait bau atau dampak tidak langsung dari operasional toko ganja tersebut.

Dampak negatif ini juga diperkuat oleh laporan dari Asosiasi Turis Phuket, yang menyatakan bahwa biro perjalanan di berbagai negara telah mulai memberitahu anggota dan klien mereka tentang asosiasi Thailand dengan tingkat penggunaan ganja yang tinggi. Kondisi ini, jelas mereka, sangat tidak diinginkan oleh segmen wisatawan keluarga yang mencari liburan yang aman dan nyaman tanpa paparan zat terlarang.

Penggunaan Ganja Dikontrol

Melihat urgensi situasi, sektor swasta kini mendesak pihak berwenang untuk segera memperketat kontrol terhadap peredaran dan penggunaan ganja. Salah satu usulan utama adalah membatasi secara signifikan jumlah lokasi atau tempat di mana ganja dapat dikonsumsi atau dijual. Data dari kantor kesehatan masyarakat provinsi menunjukkan betapa mendesaknya hal ini: terdapat 1.495 toko ganja di seluruh Phuket, dengan rincian 752 di distrik Muang, 520 di distrik Kathu, dan 223 di distrik Thalang, menunjukkan betapa proliferasinya bisnis ini telah terjadi.

Kondisi ini tidak terlepas dari sejarah legalisasi ganja di Thailand. Negara ini menjadi yang pertama di Asia yang mendekriminalisasi ganja pada tahun 2022, sebuah langkah berani yang bertujuan membuka pintu bagi ekonomi ganja yang baru. Saat itu, Pemimpin Partai Bhumjaithai (BJT) Anutin Charnvirakul, yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan Masyarakat, merupakan motor penggerak utama di balik keputusan untuk menghapus ganja dari daftar narkotika. Visinya adalah menciptakan sektor ekonomi baru dari tanaman ini, namun tanpa regulasi yang jelas, langkah tersebut justru menimbulkan kekacauan.

Sayangnya, ketiadaan undang-undang dan peraturan yang komprehensif pasca-dekriminalisasi telah memicu kekacauan yang meluas. Tiga tahun berselang sejak kebijakan itu diberlakukan, kerangka hukum yang jelas untuk mengatur penggunaan ganja masih belum juga terwujud. Situasi ini mengindikasikan bahwa perumusan undang-undang tersebut belum menjadi prioritas utama di tengah gejolak dan ketidakstabilan politik yang tengah melanda negara itu.

Meskipun demikian, ada sedikit titik terang terkait upaya pengaturan. Pada bulan Mei lalu, Menteri Kesehatan Masyarakat Somsak Thepsutin menyatakan bahwa jika rancangan undang-undang yang diajukan oleh Partai Pheu Thai yang berkuasa disahkan, setiap pengguna ganja di Thailand akan diwajibkan memiliki sertifikat medis. Langkah ini bertujuan untuk secara tegas memastikan bahwa penggunaan ganja hanya diperbolehkan untuk tujuan medis, bukan rekreasi, sebagai upaya untuk mengembalikan ketertiban.