Fadli Zon Sebut Tak Ada Kasus Pemerkosaan Massal Mei 1998, Data Publik Membantah

Fadli Zon Sebut Tak Ada Kasus Pemerkosaan Massal Mei 1998, Data Publik Membantah

Blog & Tips – – Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 telah memicu perdebatan sengit. Dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Senin (8/6/2025), Fadli Zon secara tegas mengklaim bahwa insiden tersebut hanyalah rumor belaka, tanpa bukti konkret yang bisa diverifikasi kebenarannya.

“Nah, ada perkosaan massal? Betul, enggak ada perkosaan massal. Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ujar Fadli Zon, seperti dikutip dari Kompas.com pada Sabtu (14/6/2025).

Klaim ini sontak menuai kecaman luas dari berbagai pihak, yang menganggap pernyataan Fadli Zon sangat keliru dan tidak berdasar. Pasalnya, terdapat sejumlah bukti pemerkosaan 1998 yang jelas dan tak terbantahkan, yang telah diakui oleh banyak otoritas serta kesaksian langsung dari para korban dan aktivis. Lantas, bagaimana tanggapan serta bukti-bukti konkret yang disodorkan oleh berbagai pihak untuk membantah klaim tersebut?

Baca juga: Selain Fadli Zon dan Fahri Hamzah, Ini Penerima Bintang Mahaputera Nararya sejak 2005

Berbagai pihak bagikan bukti pemerkosaan 1998

Sejumlah pihak merespons klaim Fadli Zon dengan merujuk pada catatan sejarah yang kuat dan pengalaman pribadi mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa kelam tersebut. Berikut adalah berbagai bukti dan kesaksian yang menegaskan adanya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998:

1. Permintaan maaf Presiden B.J. Habibie saat itu

Salah satu bukti historis yang tak terbantahkan adalah pertemuan Presiden Ke-3 RI B. J. Habibie dengan koalisi Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 15 Juli 1998. Koalisi ini, yang dibentuk oleh sejumlah aktivis kemanusiaan, menuntut pertanggungjawaban negara atas kekerasan seksual yang terjadi selama Kerusuhan Mei 1998. Dalam pertemuan penting tersebut, Habibie mengakui secara langsung terjadinya pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa.

Habibie bahkan meminta perwakilan koalisi, termasuk Ita Fatia Nadia, untuk merumuskan pernyataan maaf negara atas tragedi pemerkosaan massal 1998. Pernyataan maaf tersebut kemudian disampaikannya dalam konferensi pers pada hari yang sama. Sebagai tindak lanjut serius, Habibie juga membentuk Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998, serta Komnas Perempuan pada 9 Oktober 1998, menunjukkan pengakuan resmi negara atas insiden tersebut.

2. Sejarawan Ita Fatia Nadia pernah tangani pemerkosaan Mei 1998

Ita Fatia Nadia, seorang sejarawan dan aktivis perempuan terkemuka, memberikan kesaksian langsung mengenai keterlibatannya dalam penanganan kasus pemerkosaan Mei 1998 di Jakarta. Ita mengungkapkan bahwa ia bergabung dengan Tim Relawan Kemanusiaan yang digagas oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di mana mereka menghadapi begitu banyak kasus pemerkosaan hingga kewalahan menanganinya.

Maka dari itu, Ita dengan tegas menyatakan bahwa pernyataan Fadli Zon adalah sebuah dusta. “Jadi, apa yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, itu adalah sebuah dusta,” tutur Ita dalam konferensi pers daring pada Jumat (13/6/2025). Menurutnya, tugas seorang menteri seharusnya adalah mengembalikan memori dan ingatan kolektif bangsa sebagai bentuk dukungan untuk menyembuhkan trauma. “Untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban. Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998,” imbuhnya. Ita menuntut agar Fadli Zon segera meminta maaf kepada para korban yang hingga kini masih tertekan oleh trauma peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.

3. TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 98 laporkan 52 korban

Laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 menjadi bukti pemerkosaan 1998 yang tak terbantahkan. TGPF, yang dibentuk berdasarkan keputusan bersama beberapa kementerian dan beranggotakan unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, serta ormas, melaporkan adanya 52 korban pemerkosaan seksual di Jakarta, Surabaya, dan Medan selama kerusuhan tersebut.

Laporan TGPF mengidentifikasi empat kategori kekerasan seksual yang terjadi, meliputi:

  • Pertama, pemerkosaan dengan 52 korban.
  • Kedua, pemerkosaan dengan penganiayaan yang menimpa 14 orang.
  • Ketiga, penyerangan atau penganiayaan seksual dengan 10 korban.
  • Keempat, pelecehan seksual yang dialami oleh 9 orang.

Selain itu, TGPF juga menemukan kasus kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan Mei, yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa utama. Laporan tersebut juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual ini telah menimbulkan penderitaan mendalam, trauma, serta rasa takut kolektif. Jumlah korban didapatkan dari laporan, bukti fisik, serta kesaksian. Namun, kondisi traumatis, ketakutan mendalam, dan aib yang dialami korban dan keluarga seringkali menghambat mereka untuk mengungkapkan sepenuhnya penderitaan yang dialami.

4. Usman Hamid: sudah diakui banyak otoritas dan Komnas HAM

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai “kekeliruan yang fatal”. Dikutip dari Kompas.com pada Jumat (13/6/2025), Usman menjelaskan bahwa rumor adalah cerita yang tidak dapat diterima sebagai bukti di pengadilan tanpa adanya otoritas yang mengetahui kebenarannya. Namun, peristiwa pemerkosaan 1998 telah diakui secara faktual oleh berbagai otoritas, termasuk Menteri Pertahanan, Menteri Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, hingga Jaksa Agung.

“Jadi, otoritas mengetahui kebenaran peristiwa itu. Dengan demikian, pernyataan Fadli Zon kehilangan kredibilitasnya,” jelas Usman dalam konferensi pers daring bersama aktivis perempuan. Lebih lanjut, Usman Hamid menegaskan bahwa pemerkosaan massal tersebut telah disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. “Jadi kesimpulannya, pemerkosaan massal itu ada, serta seluruhnya merupakan pelanggaran HAM,” tegasnya, mengakhiri perdebatan tentang keberadaan insiden tragis ini.

(Sumber: Kompas.com/Firda Janati, Dian Erika Nugraheny | Editor: Dani Prabowo, Nawir Arsyad Akbar, Kristian Erdianto)