JAKARTA, KOMPAS.TV – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara tegas mendesak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, untuk segera menarik pernyataannya yang menyangkal peristiwa pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998. Desakan ini datang sebagai respons atas pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti kuat mengenai terjadinya kekerasan seksual sistematis tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menegaskan bahwa pengakuan kebenaran adalah fondasi krusial bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat, khususnya bagi para penyintas. Oleh karena itu, Fadli Zon juga diminta untuk menyampaikan permintaan maaf kepada para korban dan seluruh masyarakat atas pernyataannya yang dinilai menyinggung.
“Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat,” ujar Yuni dalam siaran pers di laman resmi Komnas Perempuan, Minggu (15/6/2025). Menurutnya, langkah ini merupakan wujud tanggung jawab moral serta komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia yang harus dipegang teguh oleh setiap pejabat negara.
Menilik Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 98: Respon Kontra hingga Data Tim Pencari Fakta
Dalam pernyataannya, Komnas Perempuan juga secara gamblang mengingatkan kembali hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998. Laporan tersebut, yang merupakan dokumen negara, secara jelas mengungkapkan adanya temuan pelanggaran HAM berat berupa 85 kasus kekerasan seksual, di antaranya 52 kasus perkosaan. Temuan krusial ini telah disampaikan langsung kepada Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, dan menjadi dasar pengakuan resmi negara mengenai fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998. Tak hanya itu, laporan TGPF ini juga yang melahirkan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 181 Tahun 1998.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Dahlia Madanih, menambahkan bahwa salah satu rekomendasi TGPF telah ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM. Tim ini dibentuk untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998 dan telah menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dahlia menekankan bahwa dokumen TGPF adalah produk resmi negara. Oleh karena itu, menyangkal dokumen resmi tersebut sama artinya dengan mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Ia menambahkan, penyangkalan Fadli Zon ini sangat melukai hati, terutama bagi para korban yang telah lama memikul beban dalam diam. “Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ujarnya dengan nada prihatin.
Sebelumnya, Fadli Zon dalam sebuah wawancara dengan media online nasional menyebutkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan terjadinya pemerkosaan massal pada peristiwa 1998. Ia bahkan mengklaim bahwa peristiwa tersebut hanyalah rumor belaka.
“Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon, mempertanyakan validitas data yang ada.
Dalam argumennya, ia juga menyebutkan bahwa dirinya pernah membantah keterangan tim pencari fakta soal pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” pungkas Fadli Zon, seolah menekankan pentingnya narasi sejarah yang konstruktif.
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Capai 70 Persen, Begini Keterangan Menteri Kebudayaan Fadli Zon