Lama sekali rasanya menanti kabar bahagia ini. Akhirnya, tetehku melahirkan anak pertamanya!
“Kapan kita menjenguk ke rumah sakit? Bukannya sudah melahirkan, ya? Katanya sih, anaknya perempuan, lucu dan imut sekali. Ayo kita kesana, tengok dede bayi,” ajak Mamah, yang disambut antusias adik perempuanku. Rasanya ingin sekali mencubitnya, saking gemasnya.
Aku sendiri antara setuju dan tidak setuju dengan ajakan Mama. Kenapa ya, anggota keluarga besar kami lebih banyak perempuan daripada laki-laki? Pertanyaan ini sering muncul di benakku, apalagi ketika aku sedang berusaha memahami apa itu cinta, mencoba merasakan bagaimana rasanya pacaran.
Aku teringat kejadian beberapa waktu lalu, saat mengantarkan adik atau keponakan perempuanku dengan motor. Dari semua tante, ibu, atau kakak perempuan, pengalaman paling konyol adalah ketika bertemu pacar di lampu merah Metro. Dia berboncengan dengan teman perempuannya, sementara aku juga berboncengan dengan perempuan, yaitu adik keponakanku. Secara fisik, kami memang terlihat seumuran.
Sayangnya, pacarku tidak mau mengerti dan percaya. Bahkan, dia selalu punya alasan untuk menolak jika diajak main ke rumah.
***
Awalnya, aku pikir kejadian di lampu merah itu akan menjadi bahan candaan yang bisa mempererat hubungan kami. Ternyata tidak. Dia langsung memasang muka cemberut saat kami bertemu kembali.
“Kemarin kamu sama siapa?” tanyanya dengan nada ketus.
“Ya sama adik keponakanku,” jawabku santai.
Dia mendengus. “Masa sih? Kok kayak sebaya?”
“Memang begitu, mukanya memang terlihat lebih dewasa,” jawabku jengkel.
Dia masih cemberut. “Aku enggak suka lihat kamu boncengin cewek lain.”
Aduh, bagaimana ini? Aku coba menjelaskan lagi, tapi dia tetap tidak percaya. Mungkin karena selama ini dia juga jarang mau main ke rumah dan tidak mau memperkenalkan diri kepada keluargaku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membiarkannya salah paham. Tapi tetap saja aku kesal. Kenapa sih orang suka terburu-buru menghakimi? Padahal kan bisa bertanya baik-baik dulu.
Pikiran ini terus berputar di kepalaku sepanjang jalan menuju rumah teteh. Sebenarnya, masalah keluarga ini sudah lama kupikirkan. Jika aku menuruti nafsu cinta dengan pacaran, tapi dia tidak mau dikenal oleh keluarga besarku, itu sama saja aku bodoh atau dia malu-maluin, dan belum siap. Mungkin dia takut atau malu dianggap ingin serius.
Aku lebih takut dikecewakan dan mengecewakan. Kalau dia sudah kenal dengan keluargaku, aku akan merasa tenang dan tahu siapa pacar cantiku sebenarnya.
Sesampainya di sana, rumah sudah ramai oleh keluarga. Kebanyakan perempuan. Bayi kecil yang katanya imut itu sedang digendong Mamah, dikelilingi para tante dan sepupu-sepupu perempuan yang sibuk berkomentar:
“Ya ampun, pipinya kayak bakpao!”
“Mirip siapa nih, mirip siapa?”
“Ih, lucu banget, pengen gigit!”
“MIRIP AKULAH, EMANYA AJA SUKA JAIL MULU SAMA GUE” gumamku dalam hati, sambil menikmati puding buatan ibu si bayi di pojokan ruang tamu.
Adikku yang duduk di sebelahku, menyengir. “Gimana? Dedenya mirip aku kan? Ya jelas, imutnya itu pasti mirip aku.”
“Apa sih, percaya diri banget,” jawabku tersenyum kecut.
Adikku cengengesan, sok percaya diri. “Seriusan, lo lihat tuh matanya, sipit belo, persis gue waktu bayi!”
Aku melirik dedek bayi yang lagi ngulet-ngulet di gendongan Mamah. Jujur, matanya memang agak sipit, tapi lebih mirip… “Gue rasa sih, dia lebih mirip ayam baru netes,” ucapku pelan.
Ade kesal sambil menepuk bahuku “Kurang ajar lu, Bang. Masa bayi dibandingin ayam?” mungkin dia mendengar ucapanku itu.
Aku tertawa kecil sambil mengunyah puding. Di tengah keramaian tante-tante yang masih sibuk mendebatkan bayi ini lebih mirip Bapak atau Emaknya, tiba-tiba si bayi mengeluarkan suara khasnya—setengah tangisan, setengah protes.
“Waduh, mulai deh,” kata salah satu sepupu.
“Nah kan, nangis.”
“Laper kali tuh.”
Benar saja, Mamah buru-buru memberikan bayi itu ke ibunya, sementara suara tangisannya semakin kencang. Aku dan adikku saling pandang, lalu buru-buru mengambil makanan lagi sebelum ada yang menyuruh kami membantu.
“Yuk, cabut dulu ke belakang. Amankan cemilan sebelum keburu dihabisin sama emak-emak rempong,” ucapku.
Adikku langsung setuju. Kami menyelinap ke dapur sambil membawa satu piring puding, berharap bisa menikmati sisa cemilan tanpa harus tertangkap untuk menggendong bayi atau disuruh memijat tante-tante yang capek bergosip.
Setelah berjam-jam kami berkunjung, memberikan kado sederhana untuk bayi tersebut, kami memutuskan untuk berpamitan pulang.
Keesokan harinya, di sekolah, dia masih marah kepadaku. Tentang kejadian membonceng cewek waktu itu, yang sebenarnya bukan cewek jadi-jadian. Sebenarnya dia adalah keluargaku sendiri yang dicemburuinya.
Hubungan kami yang sudah berjalan berbulan-bulan terasa seperti kontrakan yang berdurasi mingguan, bulanan, atau tahunan. Banyak orang bisa seperti itu, berbeda dengan diriku, yang tidak pernah membuat atau memasang Status WhatsApp mengucapkan “Anniversary.”
Pada kenyataannya, cinta butuh saling memahami dan adanya kepastian.
Hubungan kami tidak bertahan lama. Kami putus di tengah jalan. Tidak seperti mereka yang bertahun-tahun berpacaran, namun tidak kunjung dilamar.
Lebih baik putus cinta di tengah jalan. Menurutku, itu adalah keputusan yang baik dan harus diterima.
Daripada putus sekolah, yang mati di tengah jalan, itu adalah hal yang konyol.
Banyak orang yang konyol, bandel, dan nakal dengan membawa otak kosong, patah hati seperti diracuni, yang membunuh jiwa dan semangatnya sendiri.
Kecemburuan memang hal yang wajar, namun cemburu berlebihan adalah hal yang tidak wajar.
Jika mendapatkan laki-laki berkarir, meskipun diskusi perusahaan bersama lawan jenis (perempuan), pasti tujuannya adalah rumah. Begitu pula sebaliknya. Namun, jarang laki-laki atau perempuan yang seperti itu. Semua tergantung pada tanggung jawab dan pemahaman masing-masing.
Pembelajaran Cinta Monyet yang Kandas
JAKARTA-2019